Selasa, 11 Mei 2010

pengorganisasi-dalam-perusahaan

Dalam arti badan, organisasi adalah sekelompok orang yang bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu, dalam arti bagan, organisasi adalah gambaran skematis tentang hubungan kerjasama antara orang-orang yang terdapat dalam suatu badan untuk mencapai suatu tujuan dan dalam arti dinamis, organisasi adalah suatu proses penetapan dan pembaian pekerjaan, pembatasan tugas dan tanggungjawab serta penetapan hbungan antara unsur-unsur organisasi sehingga memungkinkan orang bekerjasama secara efektif untuk mencapai tujuan (M. Fuad, 2001:102)

Istilah organisasi yang didefinisikan secara statis diartikan sebagai suatu gambaran secara skematis tentang bagian-bagian tugas dan tanggungjawab dan hbungan bagian yang terdapat dalam sesautu badan atau suatu lembaga sedangkan secara dinamis diartikan sebagai suatu proses penetapan dan pembagian pekerjaan yang akan dialkukan, pembatasan tugas-tugas atau tangungjawab serta wewenang dan penetapan hbungan antara unsure organisasi sehingga memungkinkan orang-orang dapat bekerja bersama-sama sefektif mungkin untuk pencapaian tujuan. (Manulang, 1971:49)

Organisasi sebagai wadah berkumpulnya sekelompok orang yang memiliki tujuan bersama, kemudian mengorganisasikan diri dengan bekerja bersama-sama untuk merealisasikan tujuannya (B.S. Wibowo, 202:315)

Organisasi diartikan sebagai a consciously coordinated social entity, with a relatively identifiable boundary that functions on a relatively continuous basis to achive a common goal or set of goals (stphen P. Robbins, 1990:4)

Organization are relatively permanent social entities characterized by goal-oriented behavior, specialization and structure (Warren B. brown, 1980:2)

Pengorganisasian diartikan sebagai suatu tindakan mengusahakan hubungan kelakukan yang efektif antara orang-orang, hingga mereka dapat bekerjasama secara efisien dan demikian memperoleh kepuasan pribadi dalam hal melaksanakan tugas-tugas tertentu dalam kondisi lingkungan tertentu guna mencapai tujuan atau sasaran tertentu.(George R.Terry, 2006:233)

Tujuan mengorganisasi :

1. mempermudah melaksanakan tugas.
2. mempermudah pimpinan untuk mengawasi bawahan
3. Agar tertuju pada tujuan tertentu
4. untuk dapat menentukan orang yang dibutuhkan untuk menjabat tugas-tugas yang sudah dibagi-bagi

PRINSIP ORGANISASI

1. Principle of objective, Tiap organisasi harus mempunyai tujuan yang tertentu dan jelas
2. The principle of functional organization, Suatu organisasi harus didirikan diatas fungsi-fungsi utama yang diperlukan untuk mencapai tujuan efisien
3. The principle of balance, Berbagai bagian dari organisasi harus mempunyai kebutuhan yang berimbang sesuai dengan fungsi bagian tersebut dalam mencapai tujuan organisasi
4. The principle of specialization, Organisasi harus dibagi sehingga aktiftas seseorang anggota organisasi sedapat mungkin dibatasi pada pelaksanaan satu fungsi saja.
5. The principle of continuity, Organisasi harus mengambarkan jenjang kenaikan tingkat dalam strukturnya agar suplai kemampuan manajerial yang sangat diperlukan untuk menjamin kelangsungan hidupnya dapat terlaksana secara berkeinambungan
6. The principle of flexibility, Organisasi dan rencana kerjanya harus lentur untuk menghadapi keadaan usaha yang terus menerus berubaha, persaingan, pengaruh luas, perluasan.
7. The principle of simplicity, Rencana organisasi harus sederhana sedemikian rupa agar dapat mencpai tujuan organisasi dengan efektif dan efisien
8. The principle of unity of command, Setiap organisasi memerlukan seorang pemimpin tunggal dan setiap bawahan harus mempunyai haya seorang atasan
9. The principle of span of control, Kemapuan seseorang untuk mengendalikan bawahan dengan efektif dan efisien, karena itu perlu ada jumlah bawahan seseorang
10. The principle supervisory channels, Suatu organisasi harus diperlengkapi dengan garis kepengawsan secara tegas dari pucuk pimpinan sampai kepada para pelaksana
11. The principle of communication, Oprganisai harus memungkinkan hubungan yang baik untuk pelaksnaan tiap tugas
12. The principle of coordination, Organisasi harus memungkinkan koordinasi yang baik dari tiap fungsi agar dicapai efisiensi uyang maksimal
13. The principle of effectiveness, Organisasi harus memungkinkan efisiensi yang maksimum disertai dengan minimum usaha dan pengeluaran-pengeluaran lainnya dalam mencapai tujuannya

budaya-organisasi

Sebagian para ahli seperti Stephen P. Robbins, Gary Dessler (1992) dalam bukunya yang berjudul “Organizational Theory” (1990), memasukan budaya organisasi kedalam teori organisasi. Sementara Budaya perusahaan merupakan aplikasi dari budaya organisasi dan apabila diterapkan dilingkungan manajemen akan melahirkan budaya manajemen. Budaya organisasi dengan budaya perusahan sering disalingtukarkan sehingga terkadang dianggap sama, padahal berbeda dalam penerapannya.

Kita tinjau Pengertian budaya itu sendiri menurut : “The International Encyclopedia of the Social Science” (1972) dpat dilihat menurut dua pendekatan yaitu pendekatan proses (process-pattern theory, culture pattern as basic) didukung oleh Franz Boas (1858-1942) dan Alfred Louis Kroeber (1876-1960). Bisa juga melalui pendekatan structural-fungsional (structural-functional theory, social structure as abasic) yang dikembangkan oleh Bonislaw Mallllinowski (1884-1942) dan Radclife-Brown yang kemudians dari dua pendekatan itu Edward Burnett Tylor (1832-1917 secara luas mendefinisikan budaya sebagai :”…culture or civilization, taken in its wide ethnographic ense, is that complex whole wich includes knowledge,belief, art, morals, law, custom and any other capabilities and habits acquired by man as a memmmber of society” atau Budaya juga dapat diartikan sebagai : “Seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya melalui proses belajar(Koentjaraningrat, 2001: 72 ) sesuai dengan kekhasan etnik, profesi dan kedaerahan”(Danim, 2003:148).

Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari kita lebih memahami budaya dari sudut sosiologi dan ilmu budaya, padahal ternyata ilmu budaya bisa mempengaruhi terhadap perkembangan ilmu lainnya seperti ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM). Sehingga ada beberapa istilah lain dari istilah budaya seperti budaya organisasi (organization culture) atau budaya kerja (work culture) ataupun biasa lebih dikenal lebih spesifik lagi dengan istilah budaya perusahaan (corporate culture). Sedangkan dalam dunia pendidikan dikenal dengan istilah kultur pembelajaran sekolah (school learning culture) atau Kultur akademis (Academic culture)

Dalam dunia pendidikan mengistilahkan budaya organisasi dengan istilah Kultur akademis yang pada intinya mengatur para pendidik agar mereka memahami bagaimana seharusnya bersikap terhadap profesinya, beradaptasi terhadap rekan kerja dan lingkungan kerjanya serta berlaku reaktif terhadap kebijakan pimpinannya, sehingga terbentuklah sebuah sistem nilai, kebiasaan (habits), citra akademis, ethos kerja yang terinternalisasikan dalam kehidupannya sehingga mendorong adanya apresiasi dirinya terhadap peningkatan prestasi kerja baik terbentuk oleh lingkungan organisasi itu sendiri maupun dikuatkan secara organisatoris oleh pimpinan akademis yang mengeluarkan sebuah kebijakan yang diterima ketika seseorang masuk organisasi tersebut.

Fungsi pimpinan sebagai pembentuk Kultur akademis diungkapkan oleh Peter, Dobin dan Johnson (1996) bahwa :

Para pimpinan sekolah khususnya dalam kapasitasnya menjalankan fungsinya sangat berperan penting dalam dua hal yaitu : a). Mengkonsepsitualisasikan visi dan perubahan dan b). Memiliki pengetahuan, keterampilan dan pemahaman untuk mengtransformasikan visi menjadi etos dan kultur akademis kedalam aksi riil (Danim, Ibid., P.74).

Jadi terbentuknya Kultur akademis bisa dicapai melalui proses tranformasi dan perubahan tersebut sebagai metamorfosis institusi akademis menuju kultur akademis yang ideal. Budaya itu sendiri masuk dan terbentuk dalam pribadi seorang dosen itu melalui adanya adaptasi dengan lingkungan, pembiasaan tatanan yang sudah ada dalam etika pendidikan ataupun dengan membawa sistem nilai sebelumnya yang kemudian masuk dan diterima oleh institusi tersebut yang akhirnya terbentuklah sebuah budaya akademis dalam sebuah organisasi.

Pola pembiasaan dalam sebuah budaya sebagai sebuah nilai yang diakuinya bisa membentuk sebuah pola prilaku dalam hal ini Ferdinand Tonnies membagi kebiasaan kedalam beberapa pengertian antara lain :

a) Kebiasaan sebagai suatu kenyataan objektif sehari-hari yang merupakan sebuah kelajiman baik dalam sikap maupun dalam penampilan sehari-hari. Seorang pendidik sebagai profesionalis biasa berpenampilan rapi, berdasi dan berkemeja dan bersikap formal, sangat lain dengan melihat penampilan dosen institut seni yang melawan patokan formal yang berlaku didunia pendidikan dengan berpakaian kaos dan berambut panjang.

b) Kebiasaan sebagai Kaidah yang diciptakan dirinya sendiri yaitu kebiasaan yang lahir dari diri pendidik itu sendiri yang kemudian menjadi ciri khas yang membedakan dengan yang lainnya.

c) Kebiasaan sebagai perwujudan kemauan untuk berbuat sesuatu yaitu kebiasaan yang lahir dari motivasi dan inisatif yang mencerminkan adanya prestasi pribadi.

( Soekanto, loc.cit, P. 174)

Pengertian budaya yang penulis teliti lebih banyak berhubungan dengan kepribadian dan sikap dosen dalam menyikapi pekerjaannya (profesionality), rekan kerjanya, kepemimpinan dan peningkatan karakter internal (maturity character) terhadap lembaganya baik dilihat dari sudut psikologis maupun sudut biologis seseorang. Dimana budaya akademis secara aplikatif dapat dilihat ketika para anggota civitas akademika sudah mempraktikan seluruh nilai dan sistem yang berlaku di perguruan tinggi dalam pribadinya secara konsisten.

Budaya dan kepribadian

Oleh karena budaya secara individu itu berkorelasi dengan kepribadian, sehingga budaya berhubungan dengan pola prilaku seseorang ketika berhadapan dengan sebuah masalah hidup dan sikap terhadap pekerjaanya. Didalamnya ada sikap reaktif seorang pendidik terhadap perubahan kebijakan pemerintah dalam otonomi kampus sebagaimana yang terjadi, dimana dengan adanya komersialisasi kampus bisakah berpengaruh terhadap perubahan kultur akademis penididik dalam sehari-harinya.

Dilihat dari unsur perbedaan budaya juga menyangkut ciri khas yang membedakan antara individu yang satu dengan individu yang lain ataupun yang membedakaan antara profesi yang satu dengan profesi yang lain. Seperti perbedaan budaya seorang dokter dengan seorang dosen, seorang akuntan dengan seorang spesialis, seorang professional dengan seorang amatiran.

Ciri khas ini bisa diambil dari hasil internalisasi individu dalam organisasi ataupun juga sebagai hasil adopsi dari organisasi yang mempengaruhi pencitraan sehingga dianggap sebagai kultur sendiri yang ternyata pengertiannya masih relatif dan bersifat abstrak. Kita lihat pengertian budaya yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Soerjono Soekanto mendefinisikan budaya sebagai : “Sebuah system nilai yang dianut seseorang pendukung budaya tersebut yang mencakup konsepsi abstrak tentang baik dan buruk. atau secara institusi nilai yang dianut oleh suatu organisasi yang diadopsi dari organisasi lain baik melalui reinventing maupun re-organizing”(Ibid, Soerjono Soekanto, P. 174)

Budaya juga tercipta karena adanya adopsi dari organisasi lainnya baik nilai, jargon, visi dan misi maupun pola hidup dan citra organisasi yang dimanefestasikan oleh anggotanya. Seorang pendidik sebagai pelaku organisasi jelas berperan sangat penting dalam pencitraan kampus jauh lebih cepat karena secara langsung berhadapan dengan mahasiswa yang bertindak sebagai promotor pencitraan di masyarakat sementara nilai pencitraan sebuah organisasi diambil melalui adanya pembaharuan maupun pola reduksi langsung dari organisasi sejenis yang berpengaruh dalam dunia pendidikan.

Sebuah nilai budaya yang merupakan sebuah sistem bisa menjadi sebuah asumsi dasar sebuah organisasi untuk bergerak didalam meningkatkan sebuah kinerjanya yang salah satunya terbentuknya budaya yang kuat yang bisa mempengaruhi. McKenna dan Beech berpendapat bahwa : „Budaya yang kuat mendasari aspek kunci pelaksaan fungsi organisasi dalam hal efisiensi, inovasi, kualitas serta mendukung reaksi yang tepat untuk membiasakan mereka terhadap kejadian-kejadian, karena etos yang berlaku mengakomodasikan ketahanan“( McKenna, etal, Terj. Toto Budi Santoso , 2002: 19)

Sedang menurut Talizuduhu Ndraha mengungkapkan bahwa “Budaya kuat juga bisa dimaknakan sebagai budaya yang dipegang secara intensif, secara luas dianut dan semakin jelas disosialisasikan dan diwariskan dan berpengaruh terhadap lingkungan dan prilaku manusia”( Ndraha, 2003:123).

Budaya yang kuat akan mendukung terciptanya sebuah prestasi yang positif bagi anggotanya dalam hal ini budaya yang diinternalisasikan pihak pimpinan akan berpengaruh terhadap sistem prilaku para pendidik dan staf dibawahnya baik didalam organisasi maupun diluar organisasi.

Sekali lagi kalau Budaya hanya sebuah asumsi penting yang terkadang jarang diungkapkan secara resmi tetapi sudah teradopsi dari masukan internal anggota organisasi lainnya. Vijay Sathe mendefinisikan budaya sebagai “The sets of important assumption (opten unstated) that member of a community share in common” ( Sathe, 1985: 18) Begitu juga budaya sebagai sebuah asumsi dasar dalam pembentukan karakter individu baik dalam beradaptasi keluar maupun berintegrasi kedalam organisasi lebih luas diungkapkan oleh Edgar H. Schein bahwa budaya bisa didefinisikan sebagai :

“A pattern of share basic assumption that the group learner as it solved its problems of external adaptation anda internal integration, that has worked well enough to be considered valid and therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think and feel in relation to these problems”.
( Schein, 1992:16)

Secara lengkap Budaya bisa merupakan nilai, konsep, kebiasaan, perasaan yang diambil dari asumsi dasar sebuah organiasasi yang kemudian diinternalisasikan oleh anggotanya. Bisa berupa prilaku langsung apabila menghadapi permasalahan maupun berupa karakter khas yang merupakan sebuah citra akademik yang bisa mendukung rasa bangga terhadap profesi dirinya sebagai dosen, perasaan memiliki dan ikut menerapkan seluruh kebijakan pimpinan dalam pola komunikasi dengan lingkungannya internal dan eksternal belajar. Lingkungan pembelajaran itu sendiri mendukung terhadap pencitraan diluar organisasi, sehingga dapat terlihat sebuah budaya akan mempengaruhi terhadap maju mundurnya sebuah organisasi. Seorang professional yang berkarakter dan kuat kulturnya akan meningkatkan kinerjanya dalam organisasi dan secara sekaligus meningkatkan citra dirinya.

managing-organizational-cultures-and-diversity

Pada jaman informasi paska-industri ini, budaya kerja dalam organisasi juga mengalami pergeseran atau bahkan perubahan, baik bentuk maupun sistim nilai/norma-norma yang melingkupinya. Salahsatu norma yang mengalami revolusi adalah “kompetensi”, tanpa memperhatikan ras, warna, kepercayaan maupun asal-usulnya.

Pada kawasan industri berteknologi tinggi, di lingkungan akademis atau laboratorium penelitian dan pengembangan di seluruh dunia sekarang ini berpegawai para pakar workaholic berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan teknologi dari beragam bangsa yang dipekerjakan berdasarkan kemampuan ilmiah, tanpa memperhatikan latar belakang budaya. Pada kondisi seperti ini, perusahaan, lingkungan akademis atau laboratorium yang bergerak dalam hitech business akan sanggup bertahan menjadi organisasi yang solid apabila mampu memadukan atau mengaplikasikan budaya organisasi yang sesuai dengan kondisi tersebut.
Kegagalan dalam memadukan budaya organisasi akan membawa konsekuensi pada menurunnya produktifitas kerja, yang tentu saja akan berpengaruh langsung terhadap kemapuan perusahaan untuk berkompetisi.

1. Memadukan Budaya Organisasi
Sebagaimana dikatakan oleh McManus dan Hergert dalam Surviving Mergers and Acquisitions, manakala merger, akuisisi atau joint venture dibentuk, maka dua atau lebih budaya organisasi yang berbeda harus digabungkan. Tidaklah efektif bila salahsatu pihak berusaha memaksakan budayanya sebagai budaya yang berlaku diperusahaan hasil penggabungan tersebut. Yang lebih produktif adalah mencari sinergi antara dan di antara sistim yang ada. Ini bukan merupakan perkara yang mudah, dalam aplikasinya diperlukan kelihaian manajerial budaya organisasi bagi para manajernya.

Keragaman antara berbagai departemen, divisi atau subsidiary yang selalu dijumpai pada MNC, menuntut para manajer untuk menguasai manajemen lintas budaya. Pada kenyataannya, setiap kali tim dikumpulkan, yang terdiri atas ilmu dan bidang keahlian yang berbeda akan membawa konsekuensi pada perbedaan pandangan maupun cara berfikirnya. Para insinyur berpikir secara berbeda dari petugas produksi atau keuangan, yang juga berbeda dengan pandangan orang pemasaran atau hubungan masyarakat. Setiap profesi atau keahlian khusus memiliki sub-budaya yang khas, kerap memecahkan masalah secara berbeda satu sama lain.

Bila kumpulan petugas ditingkatkan ke dalam tim atau satuan tugas (task force), tangtangan yang dihadapi manajemen bahkan semakin besar, karena kemudian berbagai budaya makro atau mikro turut mengambil bagian. Dengan demikian, manajer yang berpengalaman dalam komunikasi dan negoisasi lintas budaya lebih mungkin untuk berhasil.

2. Sinergi dalam Budaya Organisasi
Suatu tantangan penting bagi manajemen lintas budaya yang kerap diabaikan terjadi manakala dua atau lebih sistem dipadukan menjadi satu usaha. Di sektor publik, pengaturan kembali terjadi melalui perubahan dalam administrasi, kebijakan, dan anggaran. Kerap dijumpai seorang pemimpin yang baru dipilih atau studi yang diadakan pemerintah akan menganjurkan perampingan pelayanan publik dan mengurangi biaya dengan jalan menyatukan beberapa departemen yang ada menjadi super agensi yang baru.

Pada sektor partikelir, merger dapat terjadi karena pengambilalihan atau akuisisi oleh lembaga usaha lain, atau sekedar lewat pembentukan suatu joint venture dengan mitra lokal atau asing. Suatu konsorsium dapat dibentuk oleh beberapa perusahaan dalam suatu bidang untuk menciptakan suatu firma yang dimiliki oleh semua (misalnya kasus dimana beberapa pabrikan komputer menggabungkan sumber yang dimiliki untuk mendirikan usaha Riset and Development untuk mengembangkan super komputer). Mega proyek, seperti “super collider” atau terowongan terusan lintas batas akan jauh lebih mangkus dan sangkil bila didahului dengan pembentukan konsorsium yang menyatukan pemerintah, industri dan perguruan tinggi pada negara-negara yang terlibat di dalamnya.
Pada kasus-kasus demikian, setiap pihak tidak hanya membawa serta sejarah organisasional, manajemen maupun keahlian khasnya, tetapi juga budaya yang berbeda. Kerap terjadi dimana para eksekutif yang terlibat dalam usaha-usaha semacam itu hanya memusatkan perhatian pada tugas yang ada namun mengabaikan faktor-faktor tersebut sehingga merugikan diri sendiri.

Kondisi seperti itu tidak mungkin terjadi bila para manajernya memiliki kecakapan manajemen lintas budaya. Mereka akan selalu menyempatkan waktu untuk menganalisis dimensi budaya dari setiap perusahaan yang berperanserta didalamnya, kemudian mengembangkan strategi untuk menjamin keberhasilan pemanduan kekuatan dari masing-masing pihak.

Contoh populer keberhasilan dari pemanduan ini dilakukan dalam industri dirgantara Eropa, dengan penciptaan Airbus Industrie. Pada joint venture yang sinergis itu, lima pemerintahan dan perusahaan mereka berhasil memproduksi inovasi teknologi dalam pesawat terbang jet berbadan lebar yang sukses menembus pasar komersial.

3. Kedudukan Budaya dalam Organisasi MNC

Banyak faktor yang berkaitan dengan budaya yang semestinya dipahami oleh para manajer MNC. Faktor utama adalah bahasa (dalam konteks yang luas). Namun pada kenyataannya (dan mengherankan) adalah hanya ada sedikit upaya para expatriate untuk mempelajari bahasa setempat. Hal ini langsung berakibat pada terhambatnya komunikasi dengan tingkatan yang lebih rendah, terlebih bila sebagian besar anggota organisasi kurang menguasai bahasa Inggris. Bahasa dalam hal ini tidak hanya berarti penguasaan arti harafiah dan pelafalannya, lebih dari itu penguasaan bahasa juga mencakup pengasaan ekspresi dan filosofinya.

Kerap dijumpai di berbagai negara suatu budaya dimana hubungan keluarga dan kronisme sangat erat. Akibatnya banyak ditemukan kasus dimana para pemegang kunci dalam dunia bisnis adalah anggota keluarga atau memiliki hubungan “Ali-Baba” dengan para pemegang kunci pemerintahan. Pola nepotisme dan kronisme ini akan mempengaruhi keputusan-keputusan yang diambil dalam dunia bisnis. Padahal bila hubungan yang bersifat emosional antara dua pihak bersifat sanling mengontrol, akan membentuk suatu sistim lingkungan yang sama sekali berbeda. Suatu hal yang dianggap sebagai nepotisme oleh suatu lingkungan, mungkin merupakan seatu bentuk family loyalty oleh lingkungan lain.

Adalah sangat lumrah bila setiap komunitas mengklaim bahwa pola hidup mereka adalah yang terbaik. Expatriate yang tidak berusaha menyesuaikan diri pada umumnya akan mendapatkan respon negatif dan akan mengalami kesulitan dalam koordinasi. Padangan yang egosentris ini kemudian akan membentuk suatu perilaku yang stereotyping, dimana seseorang akan mudah mencurigai bahwa orang lain yang datang dari ras, negara atau budaya tertentu, pasti akan memiliki perilaku yang khas.

Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah pola prioritas yang diberikan kepada kemampuan (ability, skill) dan pendidikan (formal education). Di banyak negara, kemampuan cenderung untuk lebih diperhatikan daripada pendidikan formal. Namun di beberapa negara, pendidikan formal memiliki arti yang sangat penting dan memiliki nilai tinggi. Seorang sarjana akan merasa mengalami degradasi bila ditempatkan pada posisi yang tidak sesuai dengan pendidikannya, meskipun sesuai dengan tingkat kemampuannya. Sehingga pada banyak kasus, MNC dari negara dengan budaya yang berbeda mengalami kesulitan dalam mengisi formasi personalianya.

Pandangan terhadap kedudukan sebagai profesional juga dapat berbeda antara satu budaya dengan budaya lain. Di satu budaya, adalah merupakan suatu kebanggaan apabila seseorang bekerja pada kantor pemerintah atau sebagai tentara, namun tidak memberikan nilai yang tinggi kepada manajer profesional, kecuali bila sebagai owner. Pandangan seperti itu akan berpengaruh atas kualutas individu yang bersedia menerima kedudukan tertentu dalam bisnis.

Dibidang pendidikan, dalam banyak komunitas, menjadi insinyur, lawyer atau dokter kerap menjadi pilihan utama. Sedangkan di komunitas lainnya sekolah bisnis menjadi pilihan pertama.
Aspek-aspek lain yang perlu diindahkan oleh eksekutif dan manajer MNC yaitu :
a) Model pendelegasian wewenang, pengambilan keputusan, disiplin dan pelimpahan tanggung jawab.
b) Komitmen individu terhadap sasaran dan tujuan organisasi.
c) Pola hubungan keluarga dan pekerjaan.
d) Pengaruh agama, keyakinan maupun kepercayaan.

4. Nilai-nilai Budaya

§ Tiga nilai budaya apa saja yang paling dihargai orang Amerika?

§ Tiga nilai budaya apa saja yang paling dihargai orang Jepang?

§ Mengapa ada perbedaan di antara kedua kebudayaan tersebut?

§ Mengapa banyak orang Arab memulai berinteraksi bisnis dengan menunjukan hubungan-hubungan dimasa lampau?

§ Mengapa manajer Jepang pada umumnya kerap menjawab permintaan Anda dengan berkata “ya, ya”?

Marilah mencermati situasi berikut agar kita dapat menunjukan perbedaan-perbedaan dalam nilai-nilai lintas budaya dan pengaruhnya dalam interaksi bisnis sehari-hari.
Scot Thomson, direktur pemasaran untuk firma berteknologi tinggi di California, mengadakan pertemuan antara dirinya, Tuan Noguchi dari Jepang dan Tuan Samir, manajer lokal perusahaan Jepang di Arab Saudi, untuk membicarakan strategi pemasaran baru untuk Global Telephone.

Dalam pertemuan itu, Tuan Thomson bertanya kepada Tuan Noguchi apakah dia setuju dengan jenis produk baru yang ia rancang di California. Tuan Noguchi menjawab : “Ya, jenis produk itu sangat menarik”. “Apakah itu berarti anda menyukainya?” tanya Tuan Thomson. Tuan Noguchi menjawab, sambil memandang para anggota timnya, “Saya harus membicarakannya dengan tim saya”. Sementara Tuan Thomson berusaha mendapatkan jawaban dari Tuan Noguchi, Tuan Samir memotong pembicaraan untuk menengahi konflik antara keduanya. Tuan Samir mengganti topik pembicaraan ke bagian pasar di masa depan dan mengusulkan agar Tuan Thomson dan Tuan Noguchi berkunjung ke Arab Saudi untuk meneliti pasar lebih lanjut.

Skenario itu merupakan benturan bisnis linas budaya yang terjadi di antara pihak-pihak yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Apa yang ada dalam “tas” budaya Tuan Thomson yang mempengaruhinya selama interaksi singkat itu : keselarasan kelompok, sikap langsung atau privasi? Pada kenyataannya, Tuan Thomson telah menerapkan nilai orientasi keterbukaan, langsung dan tindakan. Bagaimana halnya dengan Tuan Naoguchi? Mengapa ia enggan meberikan jawaban langsung kepada Tuan Thomson? Apa yang mempengaruhinya : senioritas, formalitas, reputasi atau konsensus kelompok? Keselarasan dan kesepakatan kelompok penting bagi Tuan Noguchi dan dengan demikian ia pantang memberi jawaban sebelum membicarakannya dengan tim Jepangnya. Mengapa Tuan Samir menyela dengan menyarankan untuk berkunjung ke negerinya? Apakah karena “tas” kebudayaannya menghargai persaingan, kompromi, ambil resiko atau keramahtamahan? Hubungan dan kompromi penting bagi Tuan Samir dan dengan demikian ia berusaha untuk menengahi situasi untuk menghindari kehilangan muka.

Pada umumnya, interaksi dalam hidup didasarkan pada beberapa parangkat nilai budaya yang dikembangkan sejak kecil. Perangkat nilai itu telah dikumpulkan, diberi ganjaran dan ditekankan oleh keluarga, komunitas, perusahaan dan bangsanya. Nilai-nilai itu berbeda dari satu negara ke negara lain, bahkan dalam satu negara, perusahaan, dan pada akhirnya tiap-tiap individu.

Marilah kita membahas hal-hal berikut :
- Apa yang paling dihargai oleh orang Amerika?
- Apa yang paling dihargai oleh orang Jepang?
- Apa yang paling dihargai oleh orang Malaisia?
- Apa yang paling dihargai oleh orang Cina?
- Apa yang paling dihargai oleh orang Arab?

Selama pelatihan pengembangan kecakapan manajemen lintas budaya bagi para manajer bisnis, kami minta kepada para peserta untuk mendaftar beberapa nilai penting dalam masyarakat mereka, dan nilai-nilai apa yang menurut mereka dihargai oleh masyarakat-masyarakat lain. Tabel berikut mendaftar beberapa jawaban yang kami peroleh dari kelompok Jepang dan Malaysia yang secara terpisah ditanya nilai-nilai apasaja yang dianggap penting oleh orang Jepang.

Keputusan kelompok

Sebagaimana terlihat pada tabel di atas, orang Jepang mempunyai gagasan-gagasan tertentu tentang apa yang mereka hargai, dan orang Malaysia menyebut beberapa nilai yang sama. Tetapi orang Malaysia juga menyebut beberapa nilai lain pada orang Jepang yang tidak ada dalam daftar yang disusun oleh orang Jepang.

Pada kondisi demikian pebisnis Jepang akan lebih banyak mengalami hambatan bila berhubungan dengan mitra dari Cina maupun Arab dibandingkan dengan bila berhubungan dengan mitra dari Amerika. Apalagi bila mereka menerapkan nilai-nilai budaya Amerika terhadap mitranya dari Cina maupun Arab. Sedangkan terhadap Arab, pandangannya hampir seluruhnya terbatas pada agama. Hal tersebut menunjukan sangat terbatasnya pemahaman mereka terhadap nilai-nilai budaya Arab.

5. Prioritas Nilai-nilai Budaya
Benar atau Salah
…. 1. Dalam interaksi sehari-hari, orang Amerika pada umumnya menyukai formalitas serta ritual.
…. 2. Mara manajer Jepang cenderung memberi ganjaran pada prestasi perorangan daripada kelompok.
…. 3. Agama mempunyai dampak dalam hampir segala-galanya dalam kebudayaan Arab.
…. 4. Banyak orang Cina suka menangani masalah dengan langsung dan terus terang.

Jawaban yang paling cocok adalah 1-S, 2-S, 3-B, 4-S.

Untuk menilai prioritas nilai-nilai budaya tersebut, di bawah ini tersedia 20 nilai yang banyak dimiliki oleh berbagai kebudayaan, tetapi prioritasnya berbeda di antara orang, kelompok atau bangsa tertentu. Nilai-nilai yang tercantum di bawah ini tidak disusun/diurutkan berdasarkan tingkat penting maupun prioritasnya.
a) Keselarasan Kelompok
b) Persaingan
c) Senioritas
d) Kerjasama
e) Privasi
f) Keterbukaan
g) Kesamaan
h) Formalitas
i) Ambil resiko
j) Reputasi
k) Kebebasan
l) Keamanan keluarga
m) Hubungan
n) Mengandalkan diri
o) Waktu
p) Kesepakatan kelompok
q) Otoritas
r) Harta milik
s) Penerangan rohani
t) Prestasi kelompok

Daftar tersebut disodorkan kepada peserta pelatihan bisnis dari berbagai ragam budaya untuk memilih nilai yang paling penting (atau paling tidak penting) dari daftar di atas. Tabel berikut menyajikan hasil yang diperoleh dari orang-orang Malaysia, Jepang dan Amerika, dengan nomor 1 menyatakan nilai yang paling penting hingga nomor 20 sebagai nilai yang paling tidak penting.

Tabel 3 : Prioritas Nilai-nilai Kebudayaan
Jepang Amerika Malaysia
1. Hubungan
2. Keselarasan
3. Keamanan keluarga
4. Kebebasan
5. Kerjasama
6. Kesapakatan kelompok
7. Prestasi kelompok
8. Privasi
9. Kesamaan
10. Formalitas
11. Spiritualitas
12. Persaingan
13. Senioritas
14. Harta milik
15. Mengandalkan diri
16. Otoritas
17. Waktu
18. Keterbukaan
19. Ambil resiko
20. Nama baik 1. Kesamaan
2. Kebebasan kelompok
3. Keterbukaan
4. Mengandalkan diri
5. Kerjasama
6. Keamanan keluarga
7. Hubungan
8. Privasi
9. Keselarasan kelompok
10. Niama baik
11. Waktu
12. Persaingan
13. Prestasi kelompok
14. Spiritualitas
15. Ambil resiko
16. Otoritas
17. Harta milik
18. Formalitas
19. Kesepakatan kelompok
20. Senioritas 1. Keamanan Keluarga
2. Keselarasan kelompok
3. Kerjasama
4. Hubungan
5. Spiritualitas
6. Kebebasan
7. Keterbukaan
8. Mengandalkan diri
9. Waktu
10. Nama baik
11. Prestasi kelompok
12. Kesamaan
13. Otoritas
14. Harta milik
15. Persaingan
16. Kesepakatan kelompok
17. Senioritas
18. Privasi
19. Formalitas
20. Ambil resiko

Pada kolom Amerika, tampak bahwa kesamaan, kebebasan, keterbukaan, keterandalan dan kerjasama mempunyai prioritas yang lebih tinggi dibandingkan dengan otoritas, formalitas, kesepakatan kelompok atau senioritas. Sementara untuk kelompok Jepang menunjukan bahwa mereka lebih menghargai hubungan, keselarasan kelompok dan keamanan keluarga daripada keterbukaan, nama baik atau pengambilan resiko. Sedangkan pada kolom Malaysia, keamanan, kerjasama, spiritualitas di atas kesepakatan, privasi atau pengambilan resiko.

Dalam konteks perbedaan prioritas tersebut, nilai kesamaan dan keterbukaan Amerika merupakan kunci kuat bagi kemungkinan terjadinya benturan budaya. Bila melakukan hubungan bisnis dengan mitra dari Jepang maupun Malaysia, eksekutif Amerika kerap terlihat canggung menghadapi nilai-nilai yang paling dihargai oleh mitra bisnisnya, terutama dalam hal keselarasan kelompok, kerjasama atau keeratan hubungan.
Selain pembedaan antar budaya, prioritas nilai-nilai budaya juga dapat diaplikasikan dalam perbandingan antar generasi, tabel berikut menunjukan perbedaan prioritas nilai di Jepang yang dilakukan pada tahun 1990 dengan pembedaan generasi angkatan baru (umur 25 sampai dengan 25 tahun) dibandingkan dengan generasi tradisional (mereka yang lebih tua).

Tabel 4 :
Prioritas Nilai-nilai Kebudayaan antar generasi di Jepang
Tradisional Angkatan Baru
1. Keselarasan kelompok
2. Prestasi kelompok
3. Kesepakatan kelompok
4. Hubungan
5. Senioritas
6. Keamanan keluarga
7. kerjasama 1. Kebebasan
2. Hubungan
3. Keamanan keluarga
4. Kesamaan
5. Mengandalkan diri
6. Privasi
7. Keselarasan kelompok

Tabel tersebut jelas menggambarkan adanya pergeseran pada prioritas nilai, dimana generasi angkatan baru lebih menghargai kebebasan, namun masih cukup menghargai nilai keselarasan kelompok, hubungan dan kemanan keluarga.

Peringkat prioritas nilai-nilai budaya menggambarkan stereotype dari masyarakat yang bersangkutan. Setiap indicvidu membawa “tas” budayanya sendiri, yang mencerminkan nilai-nilai bangsanya, kelompoknya dan pribadinya. Semakin dekat kita berinteraksi dengan individu dari beragam latar belakang kebudayaan, kita semakin mengetahui prioritas nilai-nilai budaya mereka.